Minggu, 08 Mei 2011

Potret Kemiskinan di Indonesia (Berbagai Sumber)


Pembukaan

Pertama-tama mari kita mengucap syukur pada Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan jalan sehingga dapat menyelesaikan makalah softskill ini dengan baik. Saya mengambil judul potret kemiskinan di Indonesia dari bberapa judul yang ditawarkan karena banyak hal menaik yang dapat di gali dari juul tersebut. Dari hal itu kita juga disadarkan selain kita masih banyak orang yang hidup kuang layak dan masih sangat perlu uluran tangan kita. 


Mari kita mulai dengan pembahasan apa itu kemiskinan dan penyebabnya

KEMISKINAN bukan ungkapan asing bagi kita, masyarakat negara ketiga. Masing-masing pikiran kita punya persepsi tentang yang mana “miskin” dan mana “tidak miskin” atau “kaya”. Setiap saat kita dijejali dengan sekian produk “pemiskinan” yang membuat kita secara tidak sadar, mengkondusifkan proses “memiskinkan” diri sendiri.
 Dalam skala yang lebih besar, tak ayal, bangsa kita juga bangsa yang miskin. Dengan memakai perpsektif apapun, semiskin-miskinnya bangsa lain, kita akan tetap berstatus miskin. Kita tidak layak disebut “kaya” karena kita masih miskin. Biarpun berlimpah sumber daya alam (SDA), toh kita tetap tidak mampu berbuat banyak. Kita juga miskin gerak, miskin uang, miskin moral dan miskin akhlak, dan lain sebagainya yang miskin.
 Jika tak berlebih, Indonesia boleh dijuluki sebagai negeri duka kaum papa. Berdasarkan survey Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah masyarakat miskin pada tahun 2001 di negara ini sebesar 17,5 % atau berkisar 34,6 juta jiwa, sedangkan berdasarkan angka Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) pada tahun 2001, presentase keluarga miskin (Prasejahtera dan Sejahtera I) mencapai 52,07 %, lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia pada tahun yang sama. Dalam hitungan lain, hasil SUSENAS mengantongi angka 98 juta jiwa (48%) penduduk miskin Indonesia. Dengan memakai angka apapun, akan tetap banyak masyarakat kita yang berada pada level “miskin”.
Meskipun tidak secara langsung berhubungan, tingkat pengangguran, logikanya berimplikasi dengan kemiskinan. Jumlah penganggur di negara ini tahun 2000 lalu diperkirakan mencapai 38,5 Juta jiwa, hampir sama besarnya dengan jumlah masyarakat miskin. Dalam kondisi objektif seperti ini, pemerintah memikul konsekuensi logis merumuskan upaya pengentasan kemiskinan. Sejak kemerdekaan diproklamirkan, label “negara miskin” masih juga belum bisa dilepaskan dari etalase pembangunan nasional. Yang paling menyedihkan, adalah tingkat Human Development Index (HDI) nasional Indonesia pada tahun 2003 yang jauh tertinggal dari banyak negara berkembang; negara-negara yang dulu banyak belajar dan dibantu oleh kita. Kita harus puas dengan rangking 117 dari 175 negara, juru kunci di ASEAN!
HDI, dikenal juga sebagai Indeks Pembangunan Manusia (IPM), mewakili keberhasilan pembangunan suatu negara diukur dari perspektif ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Untuk perspektif ekonomi, HDI yang sangat rendah tersebut, melambangkan keterpurukan moneter dan tidak adanya kondusifitas pengembangan ekonomi. Krisis multidimensi yang menerpa negara kita pada penghujung 1997 dan pertengahan 1998, menyisakan trauma ekonomis yang cukup mendalam. Iklim investasi memburuk, sejalan dengan terjungkalnya sektor ekonomi menengah ke bawah dan distabilitas perpolitikan nasional.
Tak terkecuali pendidikan dan sektor kesehatan. Sebagai “public goods” (kebutuhan publik), kedua sektor ini – bagaimanapun konteksnya, akan tetap dibutuhkan hadirnya, dalam kondisi krisis kemarin, tak dapat dinafikkan, juga mengalami imbas yang cukup berarti. Selain itu, sektor-sektor lainnya semisal hukum, pertanian, kultur dan sebagainya, pun tak luput dihembus angin distabilitas. Bangsa kita sakit, kronik malah.
Problem nasional kita menjadi semakin kompleks dan memutlakkan penyelesaian sistemik dan kompleks pula. Buntutnya, masyarakat miskin, yang sebelumnya memang sudah miskin, kembali terdesak menjadi miskin berganda, miskin sirkuler, bahkan tidak sedikit yang miskin herediter. Penghujung dekade 90-an, resonansi kemiskinan muncul dengan kemasan dan wajah baru yang lebih menyeramkan. Bangsa ini, bangsa yang memuja kemiskinan !
Penyebab Kemiskinan

Jawaban sederhana, namun juga cukup lugas dari pertanyaan di atas, yang kerap kita dengar adalah : “Karena mereka malas !”. Mengasosiasikan kemiskinan dengan kemalasan, pada gilirannya akan menemui absurditas, dan bukan tak mungkin tidak dapat dipertanggungjawabkan. Karena, di luar dari alasan-alasan eksternal lain, kiranya tak ada seorang pun yang secara manusiawi “mau” hidup miskin.
Beberapa keyakinan religi yang cenderung doktriner, menganggap kemiskinan sebagai bentuk cobaan. Dalam kriteria moralitas – ini juga berlaku terbatas, kemiskinan bahkan dipandang sebagai pembalasan atas dosa-dosa yang telah diperbuat seseorang atau sekelompok orang pada waktu-waktu sebelumnya, termasuk kemalasan. Sejarah kemiskinan, hadir sejak mula adanya manusia. Schiller (1973) mencatat bahwa terjadinya krisis ekonomi dahsyat di AS pada akhir dekade 1890-an, menjadi momentum saat mana keyakinan doktriner – bahwa kemiskinan adalah refleksi dosa manusia, mulai dipertanyakan.
Banyak hal yang menunjukkan bahwa, kelompok-kelompok miskin sulit memanfaatkan peluang. Di samping itu, kualitas sumber dayanya memang rendah. Secara ekonomis, yang tampaknya menjadi konsensus adalah bahwa seseorang atau sekelompok miskin karena lack of resourches. Bukan semata karena kemalasan, meskipun juga tak bisa dinafikkan peran konteks seperti ini dalam memudarkan spirit untuk hidup, berujung pada sikap apatis dan putus asa. Pada kenyataannya, apatis dan putus asa yang “terkondisikan” inilah, yang dipotret sebagai “kemalasan”.
Singkatnya, terdapat “kondisi global” yang melingkupi orang-orang yang miskin atau yang rentan menjadi miskin, yang memaksa mereka untuk – mau atau tidak mau, sadar atau tidak, menjadi miskin. Kondisi global yang secara sistemik telah memperkecil ruang-ruang ekspektasi dan kreatifitas hidup mereka, memposisikannya tetap di level suboordinat, pada wilayah-wilayah marginal, saat mana mereka tidak memiliki kekuatan sosial politis dan bargaining hukum yang berarti. Kendati pun ada faktor kemalasan, saya yakin, itu bukan sebab utama kemiskinan saat ini.
Berikut Berdasarkan TNP2K ( Tim Nasional Pecepatan Penanggulangan Kemiskinan )

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009

·         Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan di Indonesia) pada Bulan Maret 2009 sebesar 32,53 juta (14,15 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Bulan Maret 2008 yang berjumlah 34,96 juta (15,42 persen), berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 2,43 juta.
·         Selama periode Maret 2008-Maret 2009, penduduk miskin di daerah perdesaan berkurang 1,57 juta, sementara di daerah perkotaan berkurang 0,86 juta orang.
·         Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah. Pada Bulan Maret 2009, sebagian besar (63,38 persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan.
·         Peranan komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Pada Bulan Maret 2009, sumbangan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis Kemiskinan sebesar 73,57 persen.
·         Komoditi makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai Garis Kemiskinan adalah beras, gula pasir, telur, mie instan, tahu dan tempe. Untuk komoditi bukan makanan adalah biaya perumahan, biaya listrik, angkutan dan minyak tanah.
·         Pada periode Maret 2008-Maret 2009, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) menunjukkan kecenderungan menurun. Ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin mendekati garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga semakin menyempit.

1. Perkembangan Tingkat Kemiskinan di Indonesia, 1996-2008

Jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode 1996-2008 berfluktuasi dari tahun ke tahun (Tabel 1, Gambar 1, dan Gambar 2). Pada periode 1996-1999 jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 13,96 juta karena krisis ekonomi, yaitu dari 34,01 juta pada tahun 1996 menjadi 47,97 juta pada tahun 1999.
Persentase penduduk miskin meningkat dari 17,47 persen menjadi 23,43 persen pada periode yang sama.  Pada periode 2000-2005 jumlah penduduk miskin cenderung menurun dari 38,70 juta pada tahun 2000 menjadi 35,10 juta pada tahun 2005. Secara relatif juga terjadi penurunan persentase penduduk miskin dari 19,14 persen pada tahun 2000 menjadi 15,97 persen pada tahun 2005.
Namun pada tahun 2006, terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin yang cukup drastis, yaitu dari 35,10 juta orang (15,97 persen) pada bulan Februari 2005 menjadi 39,30 juta (17,75 persen) pada bulan Maret 2006. Penduduk miskin di daerah perdesaan bertambah 2,11 juta, sementara di daerah perkotaan bertambah 2,09 juta orang.
Peningkatan jumlah dan persentase penduduk miskin selama Februari 2005-Maret 2006 terjadi karena harga barang-barang kebutuhan pokok selama periode tersebut naik tinggi, yang digambarkan oleh inflasi umum sebesar 17,95 persen. Akibatnya penduduk yang tergolong tidak miskin namun penghasilannya berada disekitar garis kemiskinan banyak yang bergeser posisinya menjadi miskin. 

Tabel 1 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Menurut Daerah, 1996-2008
 

Terjadi penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin yang cukup signifikan pada periode Maret 2007-Maret 2008, dari 37,17 juta (16,58 persen) pada tahun 2007 menjadi 34,96 juta (15,42 persen) pada tahun 2008.


2. Perkembangan Tingkat Kemiskinan Maret 2008-Maret 2009

Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2008 sebesar 34,96 juta orang (15,42 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2009 yang berjumlah 32,53 juta (14,15 persen), berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 2,43 juta.
Jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan turun lebih tajam dari pada daerah perkotaan. Selama periode Maret 2008-Maret 2009, penduduk miskin di daerah perdesaan berkurang 1,57 juta orang, sementara di daerah perkotaan berkurang 0,86 juta orang (Tabel 2).
Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah. Pada periode Maret 2008 – Maret 2009, perubahan persentase penduduk miskin di perkotaan sebesar 0,93 persen, dan di perdesaan mencapai 0,58 persen.
Penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin selama periode Maret 2008-Maret 2009 nampaknya berkaitan dengan faktor-faktor berikut:
1.      Selama periode Maret 2008-Maret 2009 inflasi umum relatif stabil (Maret 2008 terhadap Maret 2009 sebesar 7,92 persen)
2.      Rata-rata harga beras nasional (yang merupakan komoditi paling penting bagi penduduk miskin) selama periode Maret 2008-Maret 2009 pertumbuhannya lebih rendah (7,80 persen) dari laju inflasi.
3.      Rata-rata upah riil harian buruh tani (70 persen penduduk miskin perdesaan bekerja di sektor pertanian) naik 13,22 persen dan rata-rata upah riil buruh bangunan harian naik sebesar 10,61 persen selama periode Maret 2008-Maret 2009.
4.      Selama Subround I (Januari-April) 2009 terjadi panen raya. Produksi padi Subround I 2009 mencapai 29,49 juta ton GKG (hasil Angka Ramalan II 2009), naik sekitar 4,87 persen dari produksi padi Subround I 2008 yang sebesar 28,12 juta ton GKG.
5.      Pada umumnya penduduk miskin bekerja di subsektor pertanian tanaman pangan dan perikanan (nelayan). NTP di kedua subsektor tersebut selama periode April 2008-Maret 2009 mengalami kenaikan yaitu naik sebesar 0,88 persen untuk subsektor tanaman pangan dan naik sebesar 5,27 persen untuk subsektor perikanan (nelayan). Di subsektor tanaman pangan indeks harga jual petani (It) naik sebesar 10,95 persen, sementara indeks harga beli petani (Ib) naik 9,98 persen. Di subsektor perikanan indeks jual petani (It) naik sebesar 15,47 persen sementara indeks beli petani (Ib) hanya naik sebesar 9,70 persen.
Pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga triwulan I tahun 2009 (angka sangat­sangat sementara) meningkat sebesar 5,84 persen terhadap triwulan I tahun 2008 (angkasangat sementara).




 
3. Perubahan Garis Kemiskinan Maret 2008-Maret 2009
Besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh Garis Kemiskinan, karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan.
Selama Maret 2008-Maret 2009, Garis Kemiskinan naik sebesar 9,65 persen, yaitu dari Rp182.636,- per kapita per bulan pada Maret 2008 menjadi Rp200.262,- per kapita per bulan pada Maret 2009. Dengan memperhatikan komponen Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM), terlihat bahwa peranan komoditi makanan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Pada Bulan Maret 2008, sumbangan GKM terhadap GK sebesar 74,07 persen, tetapi pada Bulan Maret 2009, peranannya hanya turun sedikit menjadi 73,57 persen.
Komoditi yang paling penting bagi penduduk miskin adalah beras. Pada Bulan Maret 2008, sumbangan pengeluaran beras terhadap Garis Kemiskinan sebesar 28,06 persen di perdesaan dan 38,97 persen di perkotaan. Selain beras, barang-barang kebutuhan pokok lain yang berpengaruh cukup besar terhadap Garis Kemiskinan adalah gula pasir (3,10 persen di perkotaan; 4,18 persen di perdesaan), telur (3,38 persen di perkotaan; 2,43 persen di perdesaan), mie instan (3,39 persen di perkotaan; 2,82 persen di perdesaan), tempe (2,56 persen di perkotaan; 2,14 persen di perdesaan), dan tahu (2,27 persen di perkotaan; 1,65 persen di perdesaan).
Untuk komoditi bukan makanan, biaya perumahan mempunyai peranan yang cukup besar terhadap Garis Kemiskinan yaitu 5,28 persen di perdesaan dan 7,38 persen di perkotaan. Biaya untuk listrik, angkutan dan minyak tanah mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk daerah perkotaan, yaitu masing-masing sebesar 3,07 persen, 2,72 persen dan 2,65 persen, sementara untuk daerah perdesaan pengaruhnya relatif kecil (kurang dari 2 persen).
Pola yang serupa juga terlihat pada Bulan Maret 2009. Pengeluaran untuk beras masih memberi sumbangan terbesar terhadap Garis Kemiskinan, yaitu 25,06 persen di perkotaan dan 34,67 persen di perdesaan. Beberapa barang-barang kebutuhan pokok lainnya masih berpengaruh cukup besar terhadap Garis Kemiskinan, seperti gula pasir (2,83 persen di perkotaan; 3,72 di perdesaan), telur (3,61 persen di perkotaan; 2,68 di perdesaan), mie instan (3,21 persen di perkotaan; 2,70 di perdesaan), tempe (2,47 di perkotaan; 2,09 di perdesaan), dan tahu (2,24 persen di perkotaan; 1,60 persen di perdesaan).
Sumbangan komoditi bukan makanan di perdesaan lebih kecil dibanding di perkotaan. Sumbangan komoditi bukan makanan terhadap Garis Kemiskinan terbesar adalah pengeluaran untuk rumah, yaitu 7,58 persen di perkotaan dan 5,73 persen di perdesaan. Pengeluaran listrik di perkotaan memberi sumbangan lebih besar kepada Garis Kemiskinan yang mencapai 3,08 persen, sedangkan perdesaan hanya 1,81 persen. Sumbangan komoditi lain terhadap Garis Kemiskinan adalah angkutan 2,85 persen di perkotaan dan 1,34 persen di perdesaan, dan minyak tanah menyumbang sebesar 1,73 persen di perkotaan dan 0,70 persen di perdesaan.

4. Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan

Persoalan kemiskinan bukan hanya sekadar berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan. Selain harus mampu memperkecil jumlah penduduk miskin, kebijakan kemiskinan juga sekaligus harus bisa mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan.
Pada periode Maret 2008-Maret 2009, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) menunjukkan kecenderungan menurun. Indeks Kedalaman Kemiskinan turun dari 2,77 pada keadaan Maret 2008 menjadi 2,50 pada keadaan Maret 2009. Demikian pula Indeks Keparahan Kemiskinan turun dari 0,76 menjadi 0,68 pada periode yang sama (Tabel 3). Penurunan nilai kedua indeks ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin mendekati garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga semakin menyempit.


 
Nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di daerah perdesaan jauh lebih tinggi dari pada perkotaan. Pada bulan Maret 2009, nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) untuk perkotaan hanya 1,91 sementara di daerah perdesaan mencapai 3,05. Nilai Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) untuk perkotaan hanya 0,52 sementara di daerah perdesaan mencapai 0,82. Dapat disimpulkan bahwa tingkat kemiskinan di daerah perdesaan lebih parah dari pada di daerah perkotaan.

5. Penjelasan Teknis dan Sumber Data

1.      Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Dengan pendekatan ini, dapat dihitung Headcount Index, yaitu persentase penduduk miskin terhadap total penduduk.
2.      Metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM). Penghitungan Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata­rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan.
3.      Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilo kalori per kapita perhari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll).
4.      Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar nonmakanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan.
5.  Sumber data utama yang dipakai untuk menghitung tingkat kemiskinan tahun 2009 adalah data SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) Panel Modul Konsumsi bulan Maret 2009. Jumlah sampel sebesar 68.000 RT dimaksudkan supaya data kemiskinan dapat disajikan sampai tingkat provinsi. Sebagai informasi tambahan, juga digunakan hasil survei SPKKD (Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar), yang dipakai untuk memperkirakan proporsi dari pengeluaran masing-masing komoditi pokok bukan makanan.

Kesimpulan
Masih banyakanya kemiskinan di wilayah Indonesia sekitar 11% atau 35 juta jiwa, mari kita menyikapi bersama dengan hati tenang dai semua masalah pasti ada solusinya
Solusi Kemiskinan Dan Pengangguran
 
Angka pengangguran dan kemiskinan yang saling berlomba perlu disikapi dengan melihat potensi perbaikan 
taraf hidup rakyat melalui konsep sederhana namun efektif. Perencanaan yang rumit biasanya hanya indah di 
kertas misi dan visi, tetapi sulit dilaksanakan karena terlalu tinggi. Oleh karena itu kita perlu membuatnya lebih 
sederhana. Yang diperlukan hanya kemauan (pemerintah). Selain itu, mengingat kemampuan finansial 
penduduk miskin dan penganggur yang terbatas, maka penggerakan ekonomi mereka akan lebih efektif 
apabila diarahkan ke sektor usaha mikro dan kecil, termasuk sektor informal.
 
1. Manajemen Sektor Informal

Sektor informal biasa dianggap sebagai pengotor jalanan dan ketidaktertiban kota. Di hampir setiap sudut dan jalan kabupaten/kota, warung tenda dan kios membuat pemandangan yang sama sekali tidak indah. Belum lagi sampah yang dibuang sampai ke tengah jalan raya. Suatu realita masyarakat yang harus dibenahi.
Secara luas, sektor informal adalah kelompok/individu masyarakat yang mencari nafkah di sektor yang tidak langsung dikelola (dibina, dibiayai, dinikmati hasilnya) oleh anggaran pemerintah bukan subsidi. Termasuk dalam sektor ini adalah seluruh usaha rumah tangga, individu dan kelompok yang tidak berupa unit usaha terdaftar. Misalnya, usaha toko atau kerajinan rumahtangga.
Dari sisi ekonomi, secara agregat mereka menyediakan jasa yang signifikan yang tidak disajikan oleh sektor formal. Dari segi kewajiban, posisi mereka sama dengan usaha lain. Misalnya, dari retribusi lapak, keamanan dan kebersihan. Oleh karena itu keberadaan mereka cukup penting. Perlu dilakukan pemerintah adalah mengelola keberadaan mereka sehingga keindahan, keasrian dan keamanan kota tidak tercemar karena ketidaktertiban. Bahkan seharusnya mereka didaftar, sehingga tidak melakukan kegiatan usaha di setiap pinggir jalan. Bagi usaha rumah tangga seperti rumah warung dan rumah toko, juga perlu dilakukan penataan sesuai peruntukan suatu wilayah.
Pengalaman berbagai kota di dalam dan luar negeri, manajemen sektor informal dikategorikan sebagai alternatif solusi terbaik dari sisi pengurangan pengangguran dan kemiskinan yang secara relatif tidak dapat didekati oleh percepatan penciptaan tenaga kerja formal. Bahkan sektor informal diangkat sebagai salah satu sumber atraksi pariwisata eksotik di suatu wilayah dengan pengelolaan berciri khusus.
Pemberian lahan khusus berupa area publik (mal terbuka) yang ditata asri adalah salah satu solusi terbaik. Mereka direlokasi ke sana untuk mengisi mal makanan dan atau kerajinan di bawah pengelolaan profesional kelompok masyarakat usaha atau pemerintah. Mereka tidak harus berusaha sepanjang hari, melainkan dapat bergantian dengan sektor formal lain. Misalnya, siang merupakan jalan umum bagi usaha perdagangan menengah-besar dan malam untuk sektor informal. Tentu akan lebih baik, apabila pemerintah dapat menyediakan lahan terbuka penuh waktu.
Contoh dari pendekatan area publik terbuka adalah Blok M Mall Jakarta, Kya-Kya Surabaya, mal serupa di Yogyakarta, Medan, Bandung, Semarang. Sedangkan di luar negeri, antara lain dapat dilihat di Venus Junction, Singapura; Nacht Mart, Frankfurt, Jerman; Evening Market, Hong Kong; Pat Phong, Bangkok, Thailand. Pengelolaan sektor informal dapat diintegrasi dengan sektor formal pariwisata. Misalnya, paket half-day atau one-day tours dengan beragam objek termasuk wisata air dan kunjungan ke sentra industri kerajinan, atau paket wisata air sore hari dan diakhiri dengan free hours ke mal makanan dan cinderamata. Integrasi ini berakibat efek pengganda ekonomi yang cukup besar, termasuk ketenagakerjaan.

2. Pengembangan Sentra Dan Pembinaan Usaha Mikro Dan Kecil

Saat ini di 11 kota/kabupaten di Kalsel terdapat lebih 703.000 UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) dari berbagai sektor ekonomi dan sebagian besar masuk kategori sektor informal. Dari jumlah itu, 99 persen termasuk kategori Usaha Mikro dan Kecil. Sektor perdagangan mikro dan kecil termasuk makanan lebih dari 166.000 unit usaha, dan sektor industri kecil lebih dari 62.500 unit.
Meskipun secara teori, kategori usaha mikro beraset hingga Rp100 juta per tahun dan usaha kecil dari Rp100 juta hingga Rp1 miliar per tahun, namun rata-rata omzet pengusaha mikro per hari hanya berkisar Rp50.000 hingga Rp3,54 juta, terutama di kota besar. Sedangkan kategori usaha kecil beromzet sekitar Rp570.000 hingga Rp14,8 juta per hari, juga terutama di kota besar.
Masalah yang mengemuka pada pengembangan usaha mikro dan kecil, antara lain adalah kesulitan dalam teknis produksi, pemasaran, modal, dan manajemen usaha termasuk keuangan. Di sisi Pemerintah, pendekatan kebijakan kepada sektor usaha mikro dan kecil secara paripurna masih jauh dari memadai. Upaya pemprop dan kabupaten/kota untuk memberi bantuan dana guna menunjang permodalan, tidak cukup efektif karena sering tidak disertai peningkatan know-how pengusaha. Mereka membutuhkan lebih banyak keterampilan untuk mengatasi masalah pada awal paragraf ini.
Di lain pihak, pengusaha mikro dan kecil kurang memiliki eksposur mengenai kiat berusaha yang baik, termasuk mengelola uang dan menyusun manajemen produksi mereka. Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah benar-benar mengelola pengusaha mikro dan kecil ini secara profesional. Ini menjadi kewajiban pemerintah, karena ekonomi berbasis kerakyatan memang sedang tumbuh dan perlu ditangani serius. Untuk itu, pembangunan sentra industri kecil perlu dilakukan di kabupaten/kota dengan tenaga ahli untuk pemberian bantuan teknis. Hal seperti ini dilakukan di banyak kota di Jawa, dan mereka mendapat dukungan dari pengusaha lain yang menampung hasil produksi mereka.
Contoh terbaik dalam manajemen Usaha Mikro dan Kecil berskala internasional, adalah bagaimana pemerintah RRC mengangkat sektor ini menjadi penyumbang devisa ekspor yang besar bagi negara. Sebelum kompleks gedung WTC New York hancur pada peristiwa 9/11, hasil kerajinan dalam bentuk cinderamata di setiap sudut objek wisata di AS didominasi produk RRC. Tidak heran apabila mayoritas cinderamata yang dibeli di AS, sebenarnya bukan diproduksi rakyat AS sendiri.
Dua hari setelah gedung WTC hancur, negara yang menangguk uang terbesar di tengah hiruk-pikuk suasana di AS adalah RRC. Pemerintah RRC memanfaatkan sentimen nasionalisme rakyat AS dalam bentuk produksi barang bertema simbol nasionalisme, seperti bendera AS segala ukuran, replika gedung WTC di dalam kotak kaca, hiasan dinding dan sebagainya. Belum lagi kursi-sofa bertema ukiran Indonesia berbahan kayu Indonesia tetapi berlabel Made in China dan diproduksi dengan dimensi yang sama. Hujan barang kerajinan RRC ke AS menjadikan RRC sebagai pemain utama dalam ekspor hasil kerajinan Usaha Mikro dan Kecil di luar negeri. Pelajaran ini sangat valid ditiru, sebagaimana RRC pun meniru hasil kerajinan Indonesia. Langkah ini dilakukan pula oleh Taiwan, Thailand, Korea dan saat ini datang pemain baru, Vietnam.

3. Program La Trabajo

Program La Trabajo merupakan pembangunan berbasis kerakyatan (Bahasa Spanyol, La Trabajo berarti kegiatan berbasis kerakyatan) yang diterapkan oleh Argentina dan Mexico dan diakui secara luas termasuk oleh IMF dan Bank Dunia. Konsep program ini adalah membangun dengan melibatkan lebih banyak masyarakat umum di wilayah/kantong kemiskinan. Pemkab/kota mengkoordinasi pembangunan infrastruktur/suprastruktur yang diusulkan oleh komite komunitas suatu wilayah (dewan kota/kecamatan) untuk beberapa waktu tertentu.
Dengan demikian, dalam kurun waktu tersebut masyarakat di sekitar proyek memperoleh penghasilan sehingga tingkat pengangguran dapat ditekan. Program ini juga diterapkan di AS di saat ekonomi sedang lesu sehingga tingkat pengangguran bertambah. Pada situasi ini pemerintah kota mendengar usulan komite komunitas suatu borough (kecamatan) dan melibatkan kontraktor setempat untuk membangun/memperbaiki sarana kota. Program seperti ini pernah dilakukan di Indonesia dengan nama Proyek Padat Karya, tetapi kini jarang terdengar lagi.
Konsep program semacam La Trabajo dapat diterapkan di Kalsel seperti halnya saat ini di Kebumen, Jawa Tengah. Program ini secara berkesinambungan dapat memacu partisipasi aktif komunitas di suatu wilayah dengan pemerintah. Efek pengganda ekonomi yang dihasilkan tidak hanya berasal dari pembangunan infrastruktur/suprastruktur sendiri, tetapi juga Usaha Mikro dan Kecil masyarakat yang akan tumbuh dari pembanguan itu. Hasil akhir yang diperoleh adalah, selain penyerapan tenaga kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, juga dukungan masyarakat kepada Pemerintah. Sudah waktunya kita membangun dengan konsep yang jelas untuk memajukan negeri dan menyejahterakan rakyat.

Selain 3 solusi diatas kita juga harus memiliki tanggung jawab terhadap sesame kta lewat berbagi, bagaikan membersihkan air keruh di danau dengan sebuah gayung, jika 1 gayung maka akan butuh waktu lama untuk menyelesaikannya, tapi jika kita bersama-sama maka hal tesebut akan segera terselesaikan. Seperti yang tertulis disini, Negara yang tercatat sebagai pemilik sumber daya alam yang melimpah ruah mulai dari pertanian, perikanan, kehutanan, hingga pertambangan sangat disayangkan memiliki penduduk miskin yang cukup tinggi yaitu 31,02 juta orang pada bulan Maret 2010 dan tingkat pengangguran terbuka 7,41% dari 116 juta angkatan kerja (sumber data BPS). Maka jika semua sumber daya dapat dimanfaatkan bersama kita data lepas dari belenggu kemiskinan tesebut, tapi kita juga harus menggunakan juga dengan bijak dan dapat melestarikannya sehingga dapat digunakan untuk generasi penerus kita.

Sumber :

Antonius Catur Nugroho
10109536 / 2 KA 03
Filkom / SI


Tidak ada komentar:

Posting Komentar